“enggak’ ah, aku seneng tinggal disini. Kamu tau engga’, aku ga nyangka kalau kampung kamu tu kaya gini. Kampung kamu tuh bersih.... rapi, rumahnya unik-unik. Dan yang paling aku suka, orangnya tu ramah-ramah.”
Itulah sepenggal percakapan antara Regina dengan Jagad di sebuah balai-balai, tepatnya disuatu petang di bantaran kali code. Regina yang seorang anak orang kaya itu begitu merasa damai ketika diijinkan tinggal beberapa hari di kampung Jagad yang hanya seorang pemuda pengangguran penghuni Lembah Code. Disana rumah-rumah tertata unik dengan dekorasi warna-warni namun tetap sederhana. Setiap sudutnya yang rapi mencerminkan penghuninya yang bersih dan rapi. Warga yang saling sapa, walau terkadang sering ngomel justru mengisyaratkan kepedulian mereka.
Film berjudul Jagad X Code ini memang mampu dengan spesifik menggambarkan keistimewaan kota jogja. Kehidupan masyarakat bantaran Kali Code terlihat eksotik membelah jantung kota pelajar ini dengan berbagai denamika wong cilik yang akhir-akhir ini banyak kita dengar dari para elit politik. Orang-orang yang dengan kesibukannya masing-masing ditengah heningnya suasana mencoba selalu peduli dengan apa yang tetangga-tetangga mereka lakukan.
Pekarangan rumah bagai tak berbatas satu sama lain, begitu pula dengan kekerabatan mereka yang tanpa batas. Coba kita sejenak beralih ke ibukota yang di penuhi dengan perumahan-perumahan elit, rumah-rumah yang rapat tertutup oleh pagar-pagar teralis yang tinggi hingga apa-apa yang ada di dalamnya dan apa-apa yang tengah terjadi di dalamnya kita tak akan pernah tahu, sampai-sampai jumlah penghuninya hanya pak RT yang tahu, itu pun dari kartu C1 yang sudah lama tidak di update. Hanya wanita-wanita cantik atau pria-pria tampan yang mereka hafal dari tetangga rumah, “eh tetangga sebelah anaknya cakep lho”.
Kembali lagi ke eksotisnya lembah code. Suatu ketika segerombolan pemuda pemudi yang mengaku dirinya mapala penghuni bantaran Kali Code berjalan-jalan menyusuri jalanan setapak yang menjadi batas antara rumah warga dengan bibir Kali. Seorang ibu-ibu dengan lengan bertato tengah asik bercengkrama dengan tetangganya melihat kita yang sedang kelelahan berjalan menyusuri bantaran Code, beliau segera memberikan tawarannya “silahkan mampir dulu nak”. Meski hanya diatas gardu ronda, namun terasa lebih. Seorang kakek juga dengan suka rela menceritakan tentang kisah Kali Code yang sarat “pitutur” ditemani sepiring pisang goreng dan kopi panas. Mereka dengan seketika melapaskan semua status dan pangkat begitu kembali ke kampung ode sore ini.
Sayup-sayup terdengar musik “uyon-uyon” dari sebuah radio apkir yang mencoba tetap bertahan hidup meski hampir habis bateray. Sementara dari seberang tak kalah bisingnya, para remaja bergurau menghabiskan waktu sore mereka dengan teman-teman sejawat. Apalagi ketika malam mulai larut tepi code justru semakin ramai dikunjungi. Ada pula para mahasiswa pecinta alam yang menguji nyali dengan menuruni tingginya jembatan-jembatan Kali Code. Semua semata-mata karena nuansa Code sudah benar-benar menjadi ikon istimewanya kota Jogja. Bisa dibilang eksotik karena asri dan ramahnya.
- Pojokteknik -
Senin, 12 Juli 2010
Minggu, 11 Juli 2010
ROMANSA DI BALIK NUSA TENGGARA
Pagi itu sabtu 30 juni 2007 suara ribut-ribut dari sekumpulan remaja memecah kesunyian di lowerground Bem Teknik ugm. Tempat yang sepertinya tidak ada kehidupan, tetapi kehidupan yang sebenarnya kami mulai disini. Tempat dimana kami biasa bernyanyi, bermain, belajar berorganisasi, dan tidur di malam hari setelah pukul tiga pagi.
Satu Bumi, begitu kami biasa menyebut tempat tinggal kami ini. Tempat dimana kami juga biasa bercerita berbagi keluh kesah kami, tempat kami nongkrong untuk membahas isu-isu yang sedang hangat di bahas di Koran kompas, atau hanya duduk-duduk menikmati indahnya buulan dengan ditemani cangkir-cangkir berisikan kopi hangat.
Nusa Tengggara, tempat yang ingin kami tuju pagi itu, tempat yang sangat asing bagi kami terutamu untuk saya penulis. Tempat yang katanya disana terhampar surga dunia, sekaligus tempat yang harus kami tuju untuk menyelesaikan tugas yang di embankan satu bumu kepada kami.
“kresek-kresek…………”
“klutak-klutak, ting…….”
“kalo packing nesting tuh di atas dab….”
“hoy…. Cover bag merah eigerku dimana??...”
Entah siapa yang memulai percakapan itu, tapi teriakan-teriakan itu yang saia dengar memeriahkan suasana pagi itu. Semua menyiapkan barang-barang pribadi dan kelompok untuk segera di packing karena kita harus berpacu dengan waktu mengejar lajunya kereta api sri tanjung.
Satria Mahendra, Agung JP, Rahimi R, Ade Irma, Firma Rizki, Adyanta Karo-karo, M jefri S, Andi Fery K. delapan orang anggota mula yang akan di dampingi oleh Fawaz dan Umi H untuk menuju Nusa Tenggara, selain itu juga ada bagas dan bakara yaitu teman dari kpalh setrajana yang akan ikut perjalanan kami ke sana.
“bangun-bangun….”
“Mas-masnya kami udah siap mau berangkat, ayo bangun, upacara mas…”
Suara cempreng dari seorang ade yang kurang sedap jika sampai di gendang telinga itu mencoba membangunkan orang-orang yang baru saja terlelam gara-gara semalaman bermain kartu poker.
Upacara pemberangkatan pun mengirigi kepergian kami. Himne satu bumi dinyanyikan dengan petikan senar-senar gitar oleh jari-jari seorang jarody hestu “mbah jarod” begitu kami memanggilnya.
Sri tanjung kereta yang akan kami naiki pagi ini. Kereta jurusan banyuwangi dengan tarif special bahkan super special, hanya dengan tiga puluh ribu rupiah kita sudah bias mencapai ujung paling timur dari pulau jawa. Suara gemuruh dari para pedagang yang sedang menjajakan barang, di padu dengan tangis balita dan keluh orang-orang karna panasnya kereta ini.
“kok kaya gini ya ndul?....” Tanya rahimi kepadaku.
“ya emang kaya gini mi, namanya juga kereta super ekonomi. Emang kamu belum pernah ya?....” jawabku sambil balik bertanya.
“seumur-umur baru kali ini aku naek kereta api ndul….” Jawabnya dengan tampang sedikit menyesal telah naik kereta ini.
Perjalanan pun berlanjut hingga kami bosan dengan aroma dari kamar kecil kereta ini, dan akirnya kami pun sampai di tujuan akir kereta yaitu banyuwangi.
Lelap tidur, canda tawa , decak kagum melihat pemandangan baru mengiringi perjalanan kami melintasi selat dan pulau Bali menggunakan ferri dilanjutkan dengan bus. Saying sekali Pulau Bali yang didewa-dewakan oleh para pelancong itu Cuma bisa kami lewati begitu saja, tetapi kami yakin pasti Nusa Tenggara menawarkan sesuatu yang lebih untuk kami.
Tigapuluhsatu jam tepat kita berada diperjalanan dan kini kamipun menginjakkan kaki kami di Nusa Tenggara tepatnya di Nusa tenggara Barat, Lombok, pelabuhan Lembar. Peta dan rute perjalananpun kami keluarkan dari doos dan kami buka kembali.
UNRAM tujuan perjalanan kami selanjutnya untuk mengurus semua keperluan baik logistic maupun perijinan ke Pemda setempat untuk berkegiatan disana. Butuh waktu dua hari lamanya untuk mengurus perijinan ini sampai berhasil kita mendapatkannya.
Semua persiapan telah kami lakukan, mulai dari data yang dibutuhkan hingga logistic yang kami perlukan. Maklum tempat yang kami tuju ini adalah tempat wisata yang kata teman-teman Mapala FE UNRAM adalah Texasnya Indonesia, jadi semua barang-barang disana harganya mahal termasuk juga harga bahan makanan.
Gili Trawangan, itu tempat yang jadi tujuan kami. Sebuah tempat yang tadinya menurut kami asri dengan masyarakat-masyarakat adatnya, hokum adatnya , dan pemandangan yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya. Ternyata tidak semuanya benar, semua itu sudah dikolaborasikan dengan hotel-hotel bintang serta café-café yang menawarkan beragam hiburan dan kesenangan. Tapi tidak apalah kami tetap belum pernah menginjakkan kaki ditempat ini.
“Welcome to Gili Trawangan Satu Bumi” seorang teman dari UNRAM berteriak dibelakang kami.
Sebuah perpaduan yang maha Agung dari Sang Pencipta, Laut dengan birunya, dihiasi gulungan-gulungan ombak yang bervariasi dan kehidupan dibawahnya yang sudah cukup membuat kami terhipnotis. Pulau dengan pemandangan seperti itu jarang sekali kami temui di Jawa. Tidak cukup sampai disitu, Gili Meno dan Gili Airpun menawarkan berjuta keindahan yang takkan terlupakan. Meno dengan danau air asinnya dan sekumpulan ikan mujahir yang hidup didalamnya. Dan Gili air dengan masyarakat adatnya yang masih sangat bersahaja sekali.
Lima hari kami habiskan untuk mencari data-data dan menikmati kreasi yang sangat indahdari Yang Maha Kuasa. Berat rasanya hati kami untuk meninggalkan pulau ini. Ingin rasanya untuk tetap bisa setiap hari bersepeda mengelilingi pulau, berenang sambil melihat kehidupan bawah lautnya, dan belajar untuk bisa menaiki ombak-ombaknya menggunakan papan. Tapi tugas kami tetaplah tugas, kami harus melanjutkan perjalanan.
Hopping begitu mereka menyebut perahu yang membawa kami kembali menyebrang kedaratan Lombok Barat, meninggalkan semuanya. Tapi kenangan di Gili ini takkan pernah hilang dari benak kami. “Aku akan Kembali” teriakku dalam hati.
Mapala FE UNRAM kembali menjadi tempat kami menyiapkan semua perlengkapan yang kami butuhkan untuk perjalanan selanjutnya. Keeseokan harinya sebuah L-300 yang sudah kami siapkan sebelumnya tiba menjemput kami. Kali ini Desa Sembalun menjadi tujuan kami. Sembalun adalah sebuah desa dikaki Gunung Rinjani.
Iya, Gunung Rinjani yang menjadi tujuan selanjutnya. Sebuah Gunung yang sangat indah dipadu dengan danau dan sumber air panas menjadikan Gunung ini sangat sering dikunjungi.
Perjalanan kami awali dari base camp sebelum dengan berjalan kaki melewati padang rumput yang hampir mirip dengan lapangan golf dipadu dengan tebing-tebing curam diantara punggungan-punggungan.
Diantara exotisme pemandangan bukit-bukit, danau Segara Anak yang masih terselimuti kabut terlihat puncakmu yang tegar berdiri di sebelah kami, inilah puncak Rinjani. Puncak tertinggi kedua di Indonesia dengan pemandangan yang sangat indah, sungguh bagaikan lukisan Sang Maestro. Sebuah maha karya dari Yang Maha Agung. Tetes air matapun mengiringi pencapaian puncak kami.
Segara Anak, tempat yang sangat tepat untuk melepas lelah dengan mencelupkan badan ke sumber air panas yang ada di balik bukitnya. Tempat yang sering dikunjungi oleh para pelancong untuk hanya sekedar memancing atau hanya sekedar menghabiskan waktu bersama teman-teman. Tapi saying sekali kami tidak dapat berlama-lama berada diatas ketinggian itu. Kami harus segera kembali. Kembali lagi ke kehidupan nyata kami yaitu di Jogjakarta, kembali bergelut dengan buku-buku kami, dan orang-orang disekitar kami.
Tapi romansa itu tidak akan pernah lepas dari benak kami. Kami akan kembali lagi kesana entah bersama ataupun dengan orang yang berbeda. Tapi teman-teman marilah kenangan ini kita rangkai menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan.
-jendul-
Langganan:
Postingan (Atom)